Terik mentari siang menemani
perjalanan Lusi sepulang sekolah. Tanpa ditemani siapapun, dia terus melangkah
lurus menyusuri jalan. Sesekali Lusi menatap arloginya namun tidak menyimpulkan
apa-apa. Gadis pendiam itu tidak pernah mempunyai teman. Banyak orang yang
menilainya sebagai anak yang judes. Di
rumah maupun disekolahnya, Lusi selalu sendiri. Apalagi semenjak kedua orang
tuanya memutuskan untuk bercerai, Lusi semakin tertekan dengan keadaan
rumahnya. Dia tahu sekarang ibunya harus bekerja keras untuk menghidupi dia.
Tapi apakah harus melupakan kewajibannya sebagai ibu? Lusi merasa dirinya
diterlantarkan.
Sebenarnya Lusi butuh sekali
kasih sayang seorang ibu. Kasih sayang yang dulu sempat didapatnya dari seorang
ibu kandung. Ayahnya yang dia anggap sudah melupakannya pun tak pernah muncul
lagi dikehidupan Lusi semenjak dia bercerai dengan ibunya. Apakah ini jalan
hidup yang diberikan tuhan kepada Lusi?
$$$
Halaman rumah tidak seperti
biasanya, yang selalu sepi dan hening. Lusi melihat sebuah mobil picanto hitam
terparkir tepat didepan rumahnya yang sederhana bercat hijau muda itu. Pintu
rumah pun terbuka lebar. “ada tamu
ternyata!” Lusi menyimpulkan.
Seorang pria dengan penampilan
rapi tengah didapatinya sedang mengobrol dengan ibu Lusi di ruang tamu.
Pertanyaan berkelibat dibenak Lusi. Tanpa menghiraukan dua orang yang sibuk
berbincang, Lusi berjalan lurus melewati mereka dan memutuskan masuk kedalam
kamarnya.
“Lusi? Kamu
sudah pulang? Sini, nak, ibu kenalkan dengan teman ibu.” Sapa ibunya ramah agar
kedok sebenarnya tidak terbuka.
“Lusi capek
ma!” dia menjawab singkat dan datar. Tanpa memandang pria itu, Lusi masuk dan
segera menutup pintu kamarnya.
$$$
Dalam lubuk hati seorang ibu,
dia ingin sekali memperkenalkan Tino, teman dekatnya selama ini. Tanpa
sepengetahuan Lusi, anaknya, Mira sudah menjalin hubungan dengan duda satu anak
itu. Tapi sangat sulit untuk meminta persetujuan Lusi untuk menerima Tino
didalam kehidupannya.
Suatu hari, ibu Lusi datang
dengan membawa seorang anak gadis seusia Lusi. Yang ternyata dia adalah anak
kandung Tino. Sesekali Mira berusaha untuk memperkenalkannya kepada Lusi.
Namun, tetap saja hati Lusi tidak bisa luluh meskipun ibunya membawa segudang
pria dan gadis seusianya untuk diperkenal kepadanya. Karena memang hubungan
anak dan ibu itu tidak begitu dekat. Bahkan sangat renggang.
“bu, itu
anak ibu, ya?” tanya Rina, gadis yang dibawanya tadi.
“emh.. iya,
itu Lusi, anak ibu satu-satunya. Dia juga seusiamu, emm.. mungkin umurnya
berbeda satu atau dua bulan denganmu.”
“oh, ya?
Tapi sepertinya Rina mengenal dia, bu!” tebaknya saat melihat wajah Lusi yang
berbalik kearahnya.
Disudut ruang tamu, Lusi yang
berdiri tegap menatap ke luar terlihat geram melihat hubungan antara ibunya dan
gadis yang tidak dia kenal itu. Sangat akrab! Hatinya kini bergejolak. Ingin
rasanya dia menjambak rambut lurus gadis itu. Rasa kesalnya karena tingkah
lakunya yang tidak wajar kepada ibunya. (baca: ibu Lusi)
“dia itu ibuku! Bukan ibumu! Pergi dari sini!” ucapnya dalam hati yang tidak dapat Lusi keluarkan dari mulutnya.
$$$
“hari-hari
yang sangat menyebalkan!” ujar Lusi terlebih kepada dirinya sendiri. Langkah
kakinya terasa begitu jontai untuk terus berjalan. Meskipun waktu sudah
menunjukan pukul 07:00, namun Lusi masih dengan santainya berjalan. Dia tidak
takut kesiangan masuk sekolahnya. “untuk apa aku rajin sekolah kalau tidak ada
satu orangpun yang menghargai usahaku!” simpulnya sambil terus berjalan.
$$$
Handphonenya bergetar dan
mengejutkan Lusi yang sedang asik menyantap mie ayamnya. Lusi membuka plap
handphone itu dan membaca pesan masuk yang dia rasa pesan itu sangat istimewa.
Kerana pengirimnya tidak lain tidak bukan adalah ibunya sendiri. “tumben ibu
mengirim pesan singkat!”
From: Ibu
Lusi, pulang sekolah ibu tunggu dirumah
secepatnya. Ada hal yang ingin ibu katakan dan ini penting untukmu.
Pesan yang
sangat singkat!
$$$
“aku
pulang!” Lusi membuka sepatunya dan masuk kedalam rumah. “ada apa ini, bu?
Kenapa pria itu ada disini lagi?” komentar Lusi ketika melihat seorang pria dan
melihat ruang tamunya dipenuhi barang-barang yang terbungkus kotak. Mirip
seperti hadiah.
Tanpa melontarkan apa-apa, ibu
Lusi menyuruhnyan untuk duduk terlebih dahulu sebelum dia menjelaskan maksud
dan tujuannya membawa pria itu. “Lusi, ibu—ingin meminta ijinmu.” Dia memulai
penjelasannya.
“apa?”
jawabnya singkat.
“kemarin
kamu belum sempat berkenalan dengan pak Tino, ini. Ibu ingin kalian saling
mengenal satu sama lain. Karena, dalam jangka dekat ini, mungkin kamu akan
mendapatkan ayah baru, Lusi.” Dia terhenti sejenak. Seakan akan memberikan
kesempatan kepada Lusi untuk berkomentar.
Suasana hening sejenak. Tidak
ada satupun kata yang keluar dari mulut Lusi. Entah apa yang dia pikirkan.
Namun saat itu pikirannya berkecamuk. Bingung akan menjawab apa! Tapi jika dia
tidak berkomentar sedikitpun, itu berarti dia mengiyakan keputusan ibunya.
Dengan begitu, Tino akan menjadi ayah barunya dan dia akan mempunyai saudara
dari ayah tirinya itu. Aahh...!! saat itu ingin sekali Lusi berteriak. Didalam
hatinya, Lusi sangat tidak setuju dengan keputusan itu!
“emm...”
Lusi bergumam. Lalu memberanikan diri untuk angkat bicara. “kalau itu sudah
menjadi keputusan ibu, Lusi—emm... Lusi—ijikan, bu.” Sedikit ragu dia
berbicara. Setelah itu, dia beranjak dari duduknya lalu pergi meninggalkan
ibunya dan pria calon ayah barunya diruang tamu.
$$$
Satu bulan sudah Lusi menjalani
hidup baru dengan ayah tirinya. Selama itu yang dirasakan Lusi sama saja dengan
hidupnya sebelumnya. Tidak ada yang istimewa. Bahkan ibunya menjadi sangat jauh
dengannya. Rina, saudara tirinya perlahan telah merampas kasih sayang ibu Lusi.
Yang berarti ibu tiri Rina. Lusi semakin geram dengan keadaan itu. Namun dia
tidak mempunyai cukup keberanian untuk berbicara. Sampai suatu saat ketika
Lusi, Rina dan ibunya diajak berbelanja oleh ayah tirinya ke sebuah mall. Dan
perselisihanpun terjadi diantara Lusi dan ibunya.
Sesampainya dirumah,
masing-masing orang membereskan barang belanjaan mereka. Diantara ketiga orang
disana, hanya Lusi yang tidak beres-beres. Bukan karena dia malas, tapi karena
barang yang dia beli hanya sebuah jam tangan kecil yang tidak begitu mahal
harganya. Dilihatnya Rina dan ibunya sedang bertukar hadiah didepan Lusi.
“Rina,
sayang, ini hadiah untukmu. Menurut ibu, kamu pantas memakainya, sayang!” ujar
ibunya dengan begitu ramah. Rina menerimanya dengan sangat senang hati.
“terimakasih,
bu! Oiya, ini untuk ibu. Semoga ibu senang!” balas Rina. Melihat itu, Lusi yang
tidak mau kalah, dia meminta bagiannya kepada sang ibu. Dengan memasang wajah
sok ramah dan periang.
“ibu, ibu,
untukku mana? Ibu pasti ngasih hadiah, kan?”
“astaga,
Lusi! Maafkan ibu, nak. Ibu tidak ingat membelikan untukmu. Maaf ya, nak! Lain
kali ibu belikan yang sama dengan Rina.” Agak sedikit terkejut dengan tingkah
Lusi yang mendadak periang. Namun memang benar adanya, ibunya sama sekali tidak
ingat akan Lusi, anak kandungnya. Bahkan hal yang memang tidak dipinta Lusi
pun, dia lupa untuk membelikannya. Tidak adil! Pikir Lusi.
Hatinya hancur sesaat, emosinya
ingin meluap, tapi Lusi berusaha untuk menahannya. Sampai beberapa detik
kemudian, dengan refleks Lusi menghentakkan meja didepannya karena emosinya
yang begitu besar, sulit untuk dia kendalikan. Dan tujuan utamanya adalah
kepada ibunya sendiri. “TIDAK ADIL..!!” Lusi marah! Dia tidak terima dengan
semua ini. Seketika, ibu dan saudara tirinya tersentak dan menghentikan
kegiatan mereka masing-masing. “BU? INI
LUSI, BU! A-N-A-K-K-A-N-D-U-N-G-MU!” napasnya tidak teratur, dia mengeja
setiap kata untuk meyakinkan ibunya. matanya kini berkaca-kaca. Saat berkedip,
tetesan airmata pun terguling dipipinya. Sebelum dia melanjutkan, Lusi mengatur
napasnya kembali. “aku ini anak kandung ibu, bu! BUKA DIA!” dengan sigap
telunjuknya menunjuk kearah Rina yang sok polos didepan ibunya. “selama ini aku
tidak pernah minta apa-apa sama ibu! Yang aku minta hanya ketulusan ibu!
Perhatian ibu! Kasih sayang ibu!” suaranya kembali lirih, dia tenggelam dalam
kemarahan hatinya.
“Lusi...?!”
ibunya mengherankan sikap Lusi. “kamu marah sama ibu, nak? Kamu marah? Salah
ibu apa?” ujarnya tidak sedikitpun ada perasaan bersalah.
“ibu...”
Lusi menarik napas, dirinya mulai menangis, tangis yang tidak seharusnya dia
keluarkan hanya untuk hal semacam itu. Tapi hatinya sudah terlanjur sakit.
Sakit yang sulit untuk diobati. “selama ini, selama ibu bercerai dengan ayah,
aku merasa tidak dianggap, bu! Padahal—aku—sangat butuh perhatian ibu! Bahkan,
saat ibu menikah lagi—ibu masih saja seperti dulu! Ibu lebih memilih DIA
daripada aku! ANAK KANDUNG IBU sendiri! Hiks-hiks!” di menangis. “DIA BUKANLAH
AKU, BU! DAN AKU BUKAN DIA!”kekesalannya dia keluarkan saat itu juga. Tanpa
berpikir dua kali, Lusi mengeluarkan semua kemarahannya kepada ibunya.
Tanpa berkata apa-apa, Mira
hanya terdiam membisu. Matanya berlinangan air mata, ikut terhanyut dalam
kesedihan yang dialami Lusi, anak kandungnya. Dia beranjak dari duduknya.
Berdiri dengan perlahan, lalu memeluk Lusi dengan segenap kasih sayangnya.
Kasih sayang yang selama ini hilang entah kemana. Dalam peluknya, Mira
menangis, menyesal dengan semuanya. “Lusi,, ibu—ibu tidak tahu! Ibu tidak tahu
bahwa kamu kesakitan selama ini, nak! Maafkan ibu! Ibu sangat menyesal, ibu
sadar—ibu baru sadar sekarang!” Mira, ibu kandung Lusi.
“ibu baru
sadar sekarang, bu? Kemarin ibu kemana saja? Ibu tidak pernah membaca anakmu
sendiri! Aku menahan sakit, bu selama ini! Ibu baru tahu sekarang?” Lusi yang
tidak bergerak sedikitpun hanya menyanggah semua ucapan ibunya tadi. Rina, yang
tidak mau ikut campur dalam masalah itu, hanya menunduk dalam kebisuannya.
“selama ini
ibu sibuk dengan urusan ibu sendiri, nak! Ibu sadar itu! Ibu mohon—maafkan ibu,
Lusi! Ibu minta maaf! Kamu anak kandung ibu, nak!” pelukannya semakin erat dan
hangat.
“bahkan,
Lusi baru kali ini merasakan pelukan seorang ibu yang ternyata begitu tenang
dan damainya, bu! Lusi baru merasakannya! Yang Lusi inginkan sejak dulu-dulu!
Lusi ingin setiap saat dipeluk ibu, merasakan kasih sayang seorang ibu! Lusi
ingin itu, bu!” untuk yang kedua kalinya, dia meneteskan air mata yang
seharusnya tidak dia lakukan. Namun, memang sangat sulit untuk terus membendung
air mata itu.
Sore itu, menjadi suasana paling
haru. Lusi yang baru bisa mengungkapkan semua isi hatinya saat itu membuat
keadaan begitu tegang. Mengapa ibunya baru mengetahui itu? Mengapa dia baru menyadari kesalahannya?
Padahal Lusi sudah menahan luka itu sejak dulu. Seharusnya ibunya tahu itu
sejak awal! Tapi itu memang sudah menjadi kuasa tuhan. Tuhan telah merencanakan
semua ini sedemikian rupa. Hingga akhirnya Lusi bisa memaafkan ibunya dengan
tulus dan ikhlas. Dan kini, tidak ada lagi dendam diantara mereka berdua.
$$$
Lembaran baru sudah mulai
dibukanya. Perubahan dalam dirinya membuat dia semakin tegar menjalani
semuanya. Pada saat itu pula lah dia menemukan sesuatu yang begitu utuh.
Sesuatu yang didambakannya sejak dulu. Yaitu, keluarga yang lengkap. Walau
bukan dengan ayah kandungnya. Dan kasih sayang yang sempurna. Tanpa
membeda-bedakan antara dia dan dia. Semua itu akan Lusi simpan dalam lembaran
barunya. Dan dia berjanji dalam dirinya sendiri tidak akan pernah membuka
lembaran lama yang membuat hidupnya dipenuhi dengan luka.
“catatan Lusi dalam hidupnya...”
--Sekian--